TINJAUAN KRITIS TERHADAP IBADAH DARING DI INDONESIA BERDASARKAN EKLESIOLOGI EDMUND P. CLOWNEY

Perkembangan teknologi hingga lahirnya internet sangat memengaruhi kehidupan manusia. Kedua hal ini yang kemudian menjadi faktor hadirnya ibadah daring, apalagi di tengah konteks pandemi COVID-19 yang membuat gereja turut hadir di dalam bentuk daring. Dari sini, lahir pergumulan bagaimana orang Kristen menyikapi praktik ibadah daring, termasuk pergumulan mengenai bagaimana ibadah yang sejati seharusnya dijalankan dan ibadah di tengah konteks pandemi COVID-19. Secara umum, ibadah daring dapat dianggap sebagai suatu keunggulan karena berhasil menjalankan ibadah secara roh, yang sering dilupakan ketika menjalankan ibadah fisik. Ibadah daring juga meniadakan batasan-batasan yang biasa terjadi di dalam ibadah fisik, misalnya batasan sosial, ekonomi, maupun geografis. Bentuk ibadah ini dianggap tetap dihadiri oleh Allah karena Allah Maha Hadir (omnipresence). Selain kedua hal di atas, relasi antara manusia dan Allah dikatakan sebagai relasi spiritual, sehingga ibadah daring dapat disamakan dengan ibadah fisik dan merupakan ibadah sejati. Tinjauan terhadap ibadah daring ini akan dilakukan berdasarkan prinsip eklesiologi yang dihadirkan oleh Edmund P. Clowney. Pengaruh pandangan Trinitarian menjadi pilar dan landasan pemikiran Clowney mengenai gereja. Clowney memformulasikan gereja di dalam peran masing-masing pribadi Allah Tritunggal sebagai satu kesatuan secara eksplisit dan tampak jelas. Gereja adalah umat pilihan Allah Bapa, jemaat dan tubuh Kristus, dan persekutuan oleh Roh Kudus. Berdasarkan prinsip ini, maka ibadah yang sejati haruslah ibadah secara komunal, sebagaimana Allah Bapa memilih umat-umat-Nya secara komunal. Ibadah yang sejati juga harus dilakukan di dalam roh dan tubuh, sebagaimana penebusan yang Kristus jalankan harus dengan inkarnasi-Nya sebagai manusia sejati yang memiliki roh dan tubuh. Karya Roh Kudus nyata melalui ibadah secara komunal dan fisik, yakni umat Allah dipersatukan satu sama lain dan dengan Allah melalui persekutuan oleh Roh Kudus. Etika motivasi menjadi salah satu penilai bagaimana ketika seorang Kristen mengambil keputusan. Etika motivasi yang ingin memberikan yang paling maksimal kepada Allah, inilah yang seharusnya dijalankan ketika orang Kristen diperhadapkan dengan konteks khusus. Dengan demikian, gereja harus menjadikan prinsip ibadah sejati yang menjadi poros utama menentukan ada atau tiadanya ibadah fisik, dan bukan sebaliknya kondisi yang seperti saat ini pandemi COVID-19 yang menentukan ada atau tiadanya ibadah fisik.